Kamis, 20 Desember 2012


==”INDAHNYA - MEMAAFKAN”==

By- editing: Ferirur Rahman

                                                          Salah satu sisi ajaran Islam yang paling mendasar adalah pengampunan dan maaf. Hal ini sangat kontra dengan asumsi luas yang mengatakan bahwa Islam itu keras, dan ayat-ayat Al-Qur’an itu hanya penuh dengan ungkapan ‘siksaan’ (adzab). Seolah Islam itu sangat tidak ‘cinta’ dan ‘kasih sayang’, kontra dengan ajaran Kristen misalnya yang selalu menjadikan ‘cinta kasih’ sebagai slogan. Sisi ajaran Islam yang pengampun dan pemaaf ini mendasar karena beberapa alasan sebagai berikut:
Pertama, bahwa di antara sekian Asma dan Sifat Ilahi, selain ‘Nama definite’ (Allah) ada dua yang paling nama dan sifat yang paling dominan dan berulang-ulang disebutkan dalam Al-Qur’an. Pertama adalah sifatNya yang ‘Rahmah’ (kasih sayang) dalam dua bentuk; Ar-Rahman, Ar-Rahim. Kedua, sifatNya yang ‘Pemaaf’ dalam empat bentuk; Al-Ghafuur, Al-Ghaffaar, Al-‘Afuuw dan At-Tawwab. Kata Ghafuur dan Ghaffar misalnya, terulang lebih 70 kali salam Al-Qur’an. Demikian pula dengan kata ‘afuwwun’ dan ‘tawwabun yang seringkali dikaitkan dengan sifatNya yang ‘Rahiim’ berulang beberapa kali dalam Al-Qur’an.
Kedua, bahwa dalam sejarah manusia memang sejak awal penciptaannya memerlukan pengampunan Tuhan Yang Maha Rahman. Di tempatkannya kedua orang tua manusia (Adam dan Hawa) dalam syurga, lalu kemudian diuji dengan sebuah larangan, menunjukkan bahwa hidup ini penuh dengan ujian yang besar kemungkinan akan menjadikan manusia terjatuh dalam dosa dan kesalahan. Untuk itu, dalam sejarahnya manusia bersalah dan memerlukan pengampunan. Maknanya, secara historis manusia memerlukan pengampunan dari Tuhan mereka.
Ketiga, bahwa manusia secara ‘tabiat’ memiliki juga kecenderungan untuk berbuat salah. Hal ini disebabkan karena adanya ‘kecednerungan dasar’ manusia yang disebut ‘hawa nafsu’ yang rentang menarik manusia kea rah yang bertentangan dengan dasar penciptaannya sebagai ‘makhluk fitri’ (suci). Realita ini menjadikan manusia berada pada posisi lebih mulia dari malaikat, tapi juga lebih rendah dari hewan. Kenyataan bahwa manusia memiliki hawa nafsu tapi mampu menjaga kesuciannya, menjadikanny terangkat ke derajat lebih tinggi dari malaikat. Tapi kenyataan lain bahwa dia diciptakan di atas dasar ‘fitrah’ namun hanyut dalam perbudakan hawa nafsunya, menjadikannya terjatuh dalam kehinaan yang lebih rendah dari hewan.
Itulah yang Allah firmankan: ‘Sesungguhnya Kami menciptakan manusia dengan penciptaan yang sebaik-baiknya. Lalu kemudian Kami jadikan dia jatuh ke dalam derajat yang paling rendah’.
Ayat lain memuji kemuliaan manusia: ‘Sungguh Kami telah memuliakan anak cucu Adam (manusia)’.
Namun pada ayat lain digambarkan: ‘Mereka itu layaknya hewan, bahkan mereka lebih sesat (dari hewan)’.
Maka, pengampunan bagi manusia menjadi ‘asasi’ karena kenyataan bahwa memang mereka, tanpa kecuali, pasti melakukan dosa dan kesalahan. Tentunya pengecualian berlaku untuk para nabi dan rasul yang diberikan penjagaan khusus (Ishmah), sehingga mereka dikenal sebagai hamba-hamba Allah yang ‘ma’shuumiin’ (terjaga).
Dua Sisi Maaf
Berbicara tentang maaf atau pengampunan, ada dua sisi yang perlu dijelaskan. Sisi pertama adalah sisi vertikal, yaitu pengampunan Allah SWT kepada hamba-hambaNya. Sisi kedua adalah sisi horizontal, yaitu maaf dari seorang hamba kepada sesama hamba Allah SWT.
Kedua sisi ‘maaf’ (pengampunan) ini sebenarnya saling terkait. Seorang hamba yang ringan maaf, insya Allah akan selalu menjadikan Allah SWT ‘ringan maaf’ kepadanya. Hal ini karena dia menjadikan Allah sebagai kiblat akhlaq (takhallquu bi akklaqillah). Maka keduanya juga menjadi ciri khas ‘ketakwaan’ yang disebutkan dalam Al-Qur’an.
Sisi Vertikal
Allah Yang Maha Rahman-Rahim tidak pernah menutup pintu ‘ampunan’ bagi hamba-hambaNya selama hamba itu masih dalam realita kehidupan dunianya. Maknanya, masih mengalami penyatuan antara kehidupan jasad dan ruh, yang lebih dikenal dengan kehidupan dunia. Apa saja kesalahan itu, dan sebesar apapun, Allah SWT dengan ‘rahmat’Nya yang maha luas dan tanpa batas akan mengampuni hamba-hambaNya. Dalam sebuah ayat Allah SWT menjelaskan: ‘Katakan (wahai Muhammad), wahai hamba-hambaKu yang telah melampaui batas terhadap diri mereka! Jangan berputus asa dari rahmat Allah, karena sesungguhnya Allah mengampui semua dosa. Sungguh Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang’ (Al-Qur’an).
‘Sungguh Allah mengampuni semua dosa’. Itulah deklarasi Al-Qur’an yang tegas. Lalu bagaimana dengan ayat yang mengatakan bahwa ‘Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa yang mempersekutukan bagiNya?’. Jawabannya adalah bahwa jika seorang hamba melakukan dosa syirik, tapi sebelum meninggal dunia sempat meminta ampun dan kembali ke jalan tauhid, maka Allah akan mengampuni dosa tersebut. Namun jika dia meninggal dalam keadaan syirik, maka dia akan abadi dalam neraka. Dosa ini tidak akan diampuni (dihapuskan) sebagaimana dosa-dosa lain, selama orang tersebut meyakini ‘Tauhid’.
Sungguh kemaha-ampunan Allah itu sangat luat dan tidak terbatas. Dalam berbagai hadits, Rasulullah SAW menegaskan, antara lain: ‘Sesungguhnya Allah menerima taubat seorang hamba sebelum menghembuskan napas terakhir (maa lam yugharghir)’.
‘Sesungguhnya Allah menerima taubat seorang hamba sebelum mata hari terbit di ufuk barat’.
‘Sungguh Allah membuka pintu magfirah di malam hari bagi hamba yang berdosa dosa di siang hari. Dan sungguh Allah membuka pintu maghfirah di siang hari bagi hamba yang melakukan dosa di malam hari’.
Ada sebuah cerita yang menarik, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari:
‘Suatu ketika ada seseorang yang telah membunuh 99 orang. Lalu dia mendatangi seorang saleh untuk bertanya, apakah dia masih akan diampuni oleh Allah SWT? Oleh orang saleh itu dikatakan bahwa dosanya telah demikian besar dan Allah tidak akan mengampuninya lagi. Maka, dia pun marah dan membunuh orang saleh tersebut. Kemudian dia mendatangi seorang yang bijak dan ilmuan untuk menanyakan hal yang sama. Oleh sang bijak dan ilmuan itu dijawab bahwa jika memang dia iklas dang sungguh-sungguh, maka Allah akan selalu membuka pintu maaf baginya. Dengan gembira orang tersebut bertanya, apa gerangan yang harus dia lakukan agar Allah mengampuniya. Sang bijak memberitahu bahwa hendaknya dia berangkat ke suatu tempat dan beribadah bersama-sama dengan kelompok orang yang ada di tempat tersebut. Berangkatlah orang tersebut. Tapi dalam perjalanannya dia meninggal dunia. Maka dua malaikat datang bersamaanuntuk menjemputnya. Satu ingin membawanya ke syurga karena kinginannya untuk bertaubat dan berubah. Yang satu lagi ingin menyeretnya ke Neraka karena dosa yang besar, membunuh 100 orang. Mereka kemudian berselisih dan masing-masing ingin menang. Allah kemudian mengutus malaikat ketiga untuk menjadi penengah, dan Allah telah memerintahkan kepadanya untuk menentukan mana pihak (malaikat) yang benar. Malaikat ketiga kemudian memerintahkan keduanya untuk mengukur jarak dari mana dia datang dan jarak kemana orang tersebut menuju. Jika jarak asal kedatangannya lebih jauh berarti dia lebih dekat kepada syurga, dan jika sebaliknya, jarak ke tujuannya lebih jauh maka berarti dia lebih dekat ke neraka. Setelah diukur ternyata orang tersebut lebih dekat kearah tujuannya. Maka keputusan Allah adalah menerima hambaNya ini di syurgaNya’. Itulah harapan yang tiada batas. Harapan yang mambawa kehidupan baru dalam hidup seorang hamba. Dan karenanya, menurut Al-Qur’an ‘sikap putus asa itu hanya dimiliki oleh mereka yang kufur’ (Al-Qur’an). Orang yang beriman akan selalu memiliki harapan untuk baik dan merubah hidup menjadi lebih baik. Dan harapan itu sangat terkait dengan ‘Rahmat’Nya Ilahi yang menaungi semuanya. Sebagaimana firmanNya ‘Sesungguhnya rahmatKu melampaui segala sesuatu’ (Al-Qur’an). Sisi Horizontal Sikap pemaaf dan mudah memaafkan ternyata menjadi salah satu ciri penting seorang hamba. Allah menyampaikan ‘Dan jika kamu memaafkan maka itu lebih dekat kepada ketakwaan’ (Al-Qur’an).
Barangkali ayat di S. Ali Imran akan menjelaskan lebih gamblang cir-ciri ketakwaan ini. Pada ayat tersebut Allah menjelaskan bahwa dalam menghambakan diri kepada Allah, dituntut keseriusan dan kerja keras. Bahkan sangat dianjurkan untuk memiliki spirit ‘persaingan’ (dalam makna positif) untuk menggapai kemenangan. Allah memulai dengan mengatakan ‘Berlomba-lombalah kamu dalam menggapi magfirah Tuhanmu dan dalam upaya masuk ke dalam syurga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang telah disiapkan bagi orang-orang yang tertakwa’.
Siapakah yang dimaksud orang-orang yang bertakwa itu menurut ayat ini? Mereka adalah orang-orang yang memiliki ciri-ciri berikut: ‘Yaitu mereka yang menafkahkan hartanya di saat lapang maupun sulit, menahan marah, serta memaafkan manusia. Mereka itulah orang-orang yang berbuat kebajikan (muhsinuun)’ (Al-Aur’an). Orang-orang yang bertakwa itu bercirikan: pertama, ringan tangan dalam meringankan beban orang lain, baik secara komunitas maupun secara pribadi. Maknanya, orang yang tertakwa itu adalah pemurah sebab dia sadar kepemurahan Allah atas dirinya.
Kedua, dia mampu menahan marah. Ayat ini tidak mengatakan bahwa orang bertakwa itu tidak marah. Melainkan ketika dia marah dia mampu menahan marah. Marah adalah bagian dari tabiat manusia, dan semua manusia pasti akan mengalami suatu saat di mana Susana batinnya akan marah, termasuk Rasulullah SAW. Yang membedakan antara kita dengan rasulullah SAW adalah bahwa beliau hanya marah karena kebenaran (lil haqq). Selain itu jika beliau marah, maka marahnya beliau akan diredam dan disalurkan pada saluran positif dan kebenaran. Sebaliknya, terkadang kita marah lebih didorong oleh ego dan ‘self interests’. Dan jika marah terkadang tidak terkontrol, maka terjadilah hal-hal yang destruktif.
Ketiga, dia memiliki sifat dan sikap pemaaf (al-aafiina anin naas). Ketika seseorang marah maka tentu ada dua kemungkinan yang terjadi. Pertama adalah penyaluran negative, termasuk ‘mengutuk’ (cursing), memukul, menendang, melempar, dan semacamnya. Atau kedua, merenung lalu mencari celah untuk menyelesaikan permasalahan itu dengan jalur yang positif. Jalur yang positif tertinggi adalah ‘memaafkan’. Dan ini menjadi salah satu ciri ketakwaan yang agung. Pertanyaannya adalah kenapa memaafkan itu begitu penting dan menjadi cirri khas orang-orang yang bertakwa? Ada beberapa alasan yang dapat diberikan:
Satu, karakter pemaaf menjadi refleksi akhlaaaqiyat Allah (karakter yang mencontoh akhlak Allah SWT). Hadits ‘takhallaquu bi akhlaqi Allah’ (berakhlaklah dengan akhlak Allah) bermakna memiliki karakter sebagai karakter-karakter Allah SWT, sesuatu dengan batasan dan kapasitas kita sebagai manusia. Allah sebagai pemaaf (Ghafuur, Ghaffar, ‘Afuwwun, Tawwaab) seharusnya terefleksi dalam sifat dan sikap kita terhadap sesama. Alangkah anehnya, jika setiap saat melakukan kesalahan, dan setiap saat pula Allah membuka pintu maaf bagi kita, namun kita begitu kikir dalam memaafkan orang lain. Seolah dalam bahasa perbuatan (lissan al haal) kita mengatakan bahwa kebaikan itu hanya datangnya dari yang lain, sementara kita sendiri hanya berada pada posisi untuk menerima kabaikan. Tentu ini bukanlah sifat orang yang bertakwa. Karena sifat ketakwaan, salah satunya, adalah memiliki sifat ihsan kepada yang lain.
Dua, karakter pemaaf merupakan refleksi kerendah hatian (tawadhu’) seorang hamba. Ketika seseorang memaafkan orang lain maka secara tidak langsung pertama kali adalah pengakuan akan ketidak sempurnaan dirinya sendiri. Dalam hati sanubarinya akan berkata ‘hari ini saudarav saya bersalah dan perlu dimaafkan, boleh jadi esok hjari saya yang berbuat salah dan saya memerlukan sesorang untuk memaafkan saya sendiri. Untuk itu, di saat orang lain memerlukan maaf saya maka saya perliu memaafkan untuk saya dengan mudah pula dimaafkan di saat nantinya saya berbuat kesalahan. Pasalnya adalah bahwa tiada seorang pun yang ma’shum, terkecuali para nabi dan rasulNya. Oleh karenanya, ketika seseorang tidak mau memaafkan, sebenarnya seolah berkata bahwa saya tidak perlu maaf dari siapapun, toh saya tidak akan betrbuat salah kepada siapa saja. Dan jika ini terjadi, maka itulah kesombongan yang tidak perlu terjadi.
Tiga, karakter pemaaf juga merrupakan pengakuan akan hakikat eksistensi kebaikan pada setiap orang. Maknanya, sejahat apapun seseorang, niscaya dia memiliki kemungkinan untuk baik. Perbuatan dosa dan kesalahan bukan akhir dari harapan untuk baik. Hal ini karena pada setiap insan ada dasar penciptaan yang di atasnya diciptakan semua manusia. ‘Fitrah Allah yang darinya setiap manusia diciptakan. Tiada pergantian/perubaha n pada fitrah tersebut’ (Al-Qur’an).
Ayat yang tersebut di S. Ar-Rum itu menggambarkan bahwa tanpa kecuali semua manusia itu memiliki ‘sinar sejati’ dalam dirinya karena memang itulah asas penciptaannya. Kesalahan yang dilakukan hanya refleksi kemanusiaannya yang turut serta dilengkapi oleh ‘hawa nafsu’. Untuk itu, ketika seorang manusia berbuat salah, sesungguhnya bukan karena dia berubah menjadi makhluk lain, dan kehilangan jati diri (fitrah) tapi sekedar kelemahan sehingga dia terseret oleh tarikan hawa nafsunya. Untuk itu, di saat diomaafkan berarti pula merupakan pengakuan bahwa orang tersebut masih memiliki ‘kesempatan’ untuk kembali ke fitrahnya. Atau masih ada harapan untuk kembali menjadi manusia yang baik. Contoh terdekat dari ini adalah ketika rasulullah mendoakan salah satu dari diua orang terjahat di Mekah dengan doanya ‘Allahumma ihdi ahada Umaraen’ (ya Allah tunjukilah salah satu dari dua Umar). Ternyata Allah mengabulkan doa beliau dan ditunjukiNya Umar ibnu Khattab r.a. Kenapa salah satu Umar ini didoakan? Karena sejahat apapun mereka, mereka ada potensi yang masih dapat diharapkan dan bahkan menjadi potensi perjuangan umat ke depan.
Empat, memaafkan juga merupakan ‘syifaa’ (obat) yang mujarab, baik bagi yang memaafkan maupun yang dimaafkan. Bagi yang memaafkan, maka dia akan menjadi tenang dan kembali berlapang dada/.eorang yang tidak mau memaafkan akan selalu memendam amarah, sakit hati dan kebencian. Oleh karenanya akan beraty baginya merasakan ketenangan dan kedamain hidup. Di malam harin akan susah merasakan nyenyaknya tidur, di siang hari akan susah merasakan lezatnya makan. Yang paling berbahaya adalah jika amarah terseb ut diikuti oleh upaya-upaya balas dendam, disitulah awal bencana yang akan ditanamkan oleh syetan dalam dirinya. Bagi yang dimaafkan maka ini merupakan obat mujarab untuk memungkinkan baginya menjadi baik. Memaafkan orang yang salah sesungguhnya juga memberikan obat mujarab kepadanya untuk mengobati penyakit hati (maradh qalbi) yang ada padanya. Kesalahn yang dilakukannya merupakan refleksi dari adanya ‘sakit hati’, karena dalam hadits disebutkan ‘jika hati baik maka baik semua amal. Tapi jika hati rusak (sakit) maka rusaklah seluruh amalan’ (hadits).
Oleh karenanya ketika seseorang dimaafkan maka itu ‘peringatan’ baginya akan adanya ‘fitrah’ terselubung yang memungkinkan baginhya untuk menjadi orang baik. Pada zaman Rasulullah SAW ada seorang pemuda yang telah menjadi Islam, rajin shalat, puasa, dll. Tapi suatu ketika dia menghadap kepada Rasulullah SAW dan meminta izin untuk berzina. Ketika Umar mendengar dia meminta izin, Umar hendak memenggal leher anak muda tersebut karena dianggap sangat kurang ajar terhadap Rasul Allah SAW. Oleh rasulullah Umar ditahan dan beliau diingatkan ‘mahlan ya Umar!’ (pelan-pelan wahai Umar). Rasulullah kemudian mengajak sang pemuda itu mendekat kepadanya, lalu tangan beliau diletakkan di dadanya dan ditanya ‘apakah kamu punya ibu?’ Dijawabnya ‘iya punya’. Rasulullah bertanya lagi ‘apakah kamu punya saudari perempuan?’. Dijawabnya ‘iya punya’. Rasulullah kemudian betrtanya ‘apakah kamu punya tante?’ Dijawabnya ‘iya punya’. Rasulullah kemudian mengatakan ‘apakah kamu suka jika ada yang melakukan itu dengan ibumu, saudarimu, atau tantemu?’ Sang pemuda menjawab ‘tidak!’. Rasulul;lah kemudian menasehatkan ‘sesugngguhnya semua wanita itu adalah seorang ibu, saudari atau tante dario orang lain. Dan tak seorangpun yang akan menyukai hal tersebut jika terjadi pada ibu, saudari atau tantenya’. Lalu rasulullah mendokan anak muda terseb ut ‘ya Allah sucikanlah hatinya!’. Sejak hari itu, anak muda tersebut tidak pernah berpikir yang tidak-tidak dan bahkan menjadi salah seorang anak muda yang paling taat di Madinah.
Perintah Allah kepada Rasulnya. Sebagai penutup akan saya kutipkan sebuah ayat yang mungkin dalam pikiran manusiawi kita sangat berlebihan. Bayangkan, Rasul Allah SAW pada ayat ini diperintah untuk memaafkan mereka yang bersalah kepadanya. Bukan Cuma itu, tapi memintakan ampun bagi mereka. Bahkan lebih dari itu, dan ini mungkin yang berat, yaitu diperintah untuk meminta masukan (musyawarah) dari mereka.
Ayatnya adalah ‘Maka disebabkan karena rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari skelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampunan bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kermudian jika kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepadaNya’ (Al Imran:159).
Sungguh indah ajaran Islam ini. Sungguh agung ajaran akhlak mulia Allah yang disampaikan kepada kita lewat ‘uswah hasanah’ manusia, Rasulullah SAW. Semoga kita diberikan taufiq dan hidayahNya dalam membangun sifat mulia ini. Mudah menyadarin akan dosa dan kesalahan, lalu rendah hati dan segera memohon ampunan kepada sang Pencipta. Tapi semoga pula, dengan dorongan rendah hati dan ketakwaan, menjadikan kita mudah berlapang dada untuk saling memaafkan. Semoga!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar