Perbuatan Tidak Menyenangkan
BY: FERIRUR RAHMAN
Dalam kehidupan sehari-hari kita sering mendengar ungkapan
perbuatan tidak menyenangkan, akan tetapi banyak diantara kita menganggap
sepele ungkapan tersebut dan dianggap sebagai hal biasa, padahal sesungguhnya
masalah tersebut sangat besar menurut pandangan hukum. Dalam hukum atau dalam
pengertian hukum pidana, perbuatan tidak menyenangkan dapat berakibat fatal
bagi pelakunya jika perbuatan yang tidak menyenangkan tersebut tidak disukai
atau tidak dapat diterima oleh pihak yang menjadi korban dari perbuatan yang
tidak menyenangkan, memang akibat perbuatannya tidak membahayakan jiwa korban
atau penderita, akan tetapi ada perasaan yang sungguh tidak enak dirasakan oleh
si penderita atau korban, oleh karenanya dari sudut pandang hukum positip,
perbuatan yang tidak menyenangkan sebagai ancaman terhadap kemerdekaan orang
perorangan, dan oleh sebab itu hukum positif perlu berperan aktif dan mengambil
langkah-langkah penyelamatan, perlindungan, pemulihan atas kejahatan dan pelanggaran
terhadap kemerdekaan orang.
Dalam hukum pidana perbuatan tidak
menyenangkan sebagaimana telah disebut di atas diatur dalam Bab XVIII Tentang
Kejahatan Terhadap Kemerdekaan Orang Pasal 335 Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana yang rumusannya berbunyi : (1). Diancam dengan pidana penjara paling
lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak tiga ratus rupiah; Ke-1 : Barang
siapa secara melawan hukum memaksa orang lain supaya melakukan atau membiarkan
sesuatu, dengan memakai kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang
tak menyenangkan, atau dengan memakai ancaman kekerasan, sesuatu perbuatan lain
maupun perlakuan yang tak menyenangkan, baik terhadap orang itu sendiri atau
orang lain. Ke-2 : Barang siapa memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan
atau membiarkan sesuatu dengan ancaman pencemaran atau pencemaran tertulis.
(2). Dalam hal diterangkan ke-2, kejahatan hanya di tuntut atas pengaduan orang
yang terkena.
Perkara perbuatan yang tidak menyenangkan sebagaimana diatur
Pasal 335 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dapat dilakukan
penahanan meskipun ancaman hukumannya paling lama 1 (satu) tahun. Hal ini
sebagaimana diatur dalam Pasal 21 ayat (4) huruf (b) Kitab Undang-undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP). Kualifikasi penahanan seorang tersangka dalam dalam
perkara perbuatan tidak menyenangkan tetap mengacu pada suatu alasan hukum
seperti diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup,
dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran tersangka atau terdakwa
akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau
mengulangi tindak pidana. Dalam surat perintah penahanannya, instansi yang
berkepentingan (penyidik, penuntut umum atau hakim) harus menyebutkan alasan
penahanannya. Tanpa penyebutan alasan penahanan, maka penahanan yang dilakukan
adalah cacat hukum dan dapat di praperadilankan.
Pada praktek hukum,
seorang tersangka dalam perkara perbuatan tidak menyenangkan umumnya tidak
dilakukan penahanan. Praktek umum ini tidak berarti menyampingkan kewenangan
penahanan yang ada pada masing-masing instansi aparatur penegak hukum seperti
penyidik, penuntut umum atau hakim sebagaimana diatur Pasal 20 KUHAP. Artinya,
pada waktu tingkat penyidikan, bisa saja si tersangka tidak dilakukan penahanan
namun kemudian di tingkat penuntutan, penuntut umum melakukan penahanan.
Kesemuanya itu tergantung pada kondisi kepentingan instansi yang mengeluarkan
perintah penahanan dimaksud. Adalah suatu hal yang tidak dapat dipungkiri,
terkesan disini bahwa sifat “kepentingan untuk melakukan penahanan” merupakan
sifat yang sangat subjektif yang diukur berdasarkan kewenangan yang bersifat
subjektif pula. Karena bersifat subjektif pada akhirnya banyak
perintah-perintah penahanan dikeluarkan yang tidak sesuai dengan alasan-alasan penahanan
sebagaimana dimaksud dan diatur Pasal 21 ayat (1) KUHAP. Dan untuk mengukur
apakah perintah penahanan itu bersifat subjektif atau tidak, umumnya dapat
dilihat dalam surat perintah penahanan yang dikeluarkan instansi penegak hukum
tersebut. Dalam surat perintah penahanan pada bagian pertimbangannya disebutkan
beberapa alasan penahanan yang seharusnya alasan-alasan penahanan tersebut
dipilih dan dicoret oleh penyidik atau penuntut umum yang mengeluarkan perintah
penahanan dimaksud dengan mencocokkan alasan yang tersedia. Tanpa adanya
pencoretan tersebut maka alasan penahan tersebut adalah alasan yang bersifat
subjektif, entah itu subjektif dari si penyidik atau penuntut umum yang
mengeluarkan surat perintah penahanan dimaksud atau subjektif yang merucut pada
kesewenang-wenangan lembaga. Dan kembali pada konteks perbuatan pidana tidak
menyenangkan yang diatur Pasal 335 ayat (1), sesungguhnya konteks perbuatan
pidana yang diatur dalam pasal tersebut ada 2 hal yakni perbuatan melawan hak
dan pemaksaan memaksa orang dengan penistaan lisan atau tulisan. Dengan
memisahkan konteks perbuatan tidak menyenangkan tersebut maka akan didapat
suatu jawaban apakah benar penahanan seorang tersangka dalam perkara pidana
perbuatan tidak menyenangkan itu dilakukan atau diterbitkan atau dikeluarkan
oleh penyidik atau penuntut umum. Tanpa adanya pemisahan konteks perbuatan si
tersangka, maka jelas-jelas, jika si penyidik atau penuntut umum telah
bertindak “subjektif yang tidak dapat dipertanggungjawabkan” mengeluarkan surat
perintah penahanan yang cacat hukum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar